Ada Apa Xi Jinping? China Tak Baik-Baik Saja, Ini Buktinya

Ilustrasi bendera China. AP/

Ekonomi China sepertinya memang tidak baik-baik saja. Data terbaru di bulan April menunjukan demikian.

Di bulan ini, data ekonomi secara luas meleset dari ekspektasi. Ekonomi terus menunjukan “jalur pemulihan yang tidak merata” dari dampak Covid-19.

Produksi industri untuk bulan April naik 5,6% secara tahunan (yoy), naik dari 3,9% di Maret. Tapi ini berbeda dengan yang diharap para ekonom, yang disurvei dalam jajak pendapat Reuters, 10,9%.

Penjualan ritel juga naik 18,4%. https://situs888gacor.com/ Tapi, ini lebih rendah dari perkiraan ekonom yang melonjak 21%.

Investasi pun memang naik 4,7%. Tapi lagi-lagi, itu juga renda dibanding ekspektasi 5,5%.

“China sedang dalam tahap pemulihan, dibandingkan tahun lalu,” kata ahli strategi ekuitas BofA Securities China Winnie Wu, dikutip CNBC International, Rabu (16/5/2023).

“Jumlahnya positif seperti yang baru saja kita lihat. Tetapi apakah pemulihan cukup baik untuk pasar, apakah pemulihan cukup baik untuk memenuhi ekspektasi investor. itulah pertanyaan besarnya di sini,” tegasnya.

Ia mengatakan fakta bahwa ekonomi China tak memenuhi ekspektasi investor adalah suatu masalah. Ia pun menambahkan bahwa momentum dari permintaan China yang terpendam tampaknya memudar.

“Pemulihan pendapatan, keamanan pekerjaan, dan kepercayaan diri akan memakan waktu,” katanya lagi.

Saham di China pun terlihat sudah memangkas sebagian besar keuntungan yang terlihat tahun ini. Shenzen Komponen Indeks misalnya turun 4,67% (qtd) dan hanya naik 1,48% (ytd) sementara penurunan pun tercatat 9,5% dari puncaknya di awal Februari.

Data terbaru lain di China mengikuti gambaran bahwa pertumbuhan negara sedang tak seragam. Indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur umum Caixin China turun menjadi 49,5 pada bulan April.

Ini menandai pembacaan pertama di bawah angka 50 dalam tiga bulan. Tanda di atas 50 berarti tumbuh sementara di bawahnya berarti kontraksi.

PMI manufaktur Biro Statistik Nasional juga turun menjadi 49,2 pada bulan April. Padahal di Maret, masih 51,9.

Impor untuk bulan April pun juga anjlok lebih jauh sebesar 7,9%. Meleset dari perkiraan bahwa ekspor akan naik 8,5%.

Ekonom pun mengharapkan lebih banyak tindakan dari pemerintah daripada perubahan suku bunga untuk meningkatkan kepercayaan pasar. Setidaknya ini dikatakan analis Goldman Sachs Hui Shan dalam laporan hari Minggu.

“Langkah-langkah simbolis yang bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan, seperti pemotongan RRR, tampaknya lebih mungkin bagi kami, terutama di sekitar akhir kuartal ketika permintaan likuiditas tinggi,” tulisnya, mengacu pada reserve requirement ratio (rasio persyaratan cadangan) bank, jumlah dana yang dibutuhkan bank sebagai cadangan.

Rekor Pengangguran Kelompok Muda

Di sisi lain, China pun kini mencatat rekor pengangguran, khususnya kaum muda. Data terbaru ada 20,4% pengangguran kaum muda, antara usia 16 dan 24 tahun.

Angka di bulan April itu menandai rekor tertinggi sepanjang pencatatan dilakukan. Ini pun membuat banyak investor cemas.

“Banyak orang, investor melihat ini sebagai indikator utama. Kalau yang muda tidak dapat pekerjaan, tidak ada jaminan pendapatan, dari mana kepercayaan, dari mana pemulihan konsumsi?” kata Winnie Wu lagi.

Ekonom Citi juga mengatakan pengangguran kaum muda kini menjadi masalah yang memusingkan meskipun pasar tenaga kerja secara keseluruhan stabil. Diketahui, tingkat pengangguran keseluruhan turun menjadi 5,2% di bulan April dari 5,3% di bulan Maret.

“Dengan perpanjangan musim kelulusan, jumlahnya bisa dengan mudah naik bukannya turun,” tulis kepala ekonominya Xiangrong Yu dalam catatan Selasa.

Yu memperkirakan ada kemungkinan pemerintah beralih ke tindakan “tegas” untuk meningkatkan perekonomian. Termasuk menurunkan suku bunga talun ini.

“Dengan China sekarang keluar dari ‘sweet spot’ pembukaan kembali, harapan perbaikan sentimen lebih lanjut dapat berkurang jika tidak ada tindakan tegas pemerintah,” tulisnya.

Dampak ke RI

Sementara itu, sebelumnya, indikasi kemerosotan ekonomi China juga terlihat dari melemahnya daya beli masyarakat. Data pekan lalu menunjukan, daya beli di April menjadi hanya 0,1% (yoy) lebih rendah dibandingkan inflasi pada bulan sebelumnya yang mencapai 0,7%.

Ini bisa saja membawa dampak negatif terhadap Indonesia. China merupakan negara mitra perdagangan Indonesia terbesar, dengan total perdagangan China dan Indonesia menembus US$ 133,65 miliar pada 2022 atau naik 17,70% dibandingkan 2021.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*